Dilahirkan sebagai anak yang terlahir dari sebuah keluarga
yang sudah cukup broken sebelum dilahirkan, memang agak menyakitkan. Telah
lahir seorang bayi perempuan yang dilahirkan dari sebuah perkawinan
seorang duda dan seorang janda yang sebelumnya pernah juga memiliki anak.
Senang seharusnya, namun ? ini adalah sebuah malapetaka, derita pertama diawal
kelahiran ku.
Ya, aku dilahirkan dari benih seorang bapak yang menikahi
ibuku kala dia sudah duda dan membawa 3 anak, dan ibuku seorang janda yg
dinikahi bapakku dan membawa 2 anak. Aku
fikir kegagalan bapak dan ibuku di pernikahan pertama membuat mereka belajar
bagaimana mencintai dan menghargai satu
sama lain. Namun, tak ada satupun di benak mereka terbesit rasa salig
menghargai, tetap yang mereka jaga adalah ego mereka masing-masing, hingga aku
bertanya kenapa orang yang sudah menikah dan mencintai bisa terpisah? Dan pada saat itu akupun menemukan
jawabannya, jawaban dimana keegoisanlah yang menjadi penyebabnya, bukan karena masalah
materi, buat mereka materi mudah untuk dicari. Inilah awal penderitaanku.
Sejak kecil aku sudah terbiasa melihat orang membanting
piring, mencaci maki, atau melempar apapun benda yang ada di depan mereka. Ya
Ya Ya mencoba bersikap biasa karena memang harus terbiasa, pertengkaran ini ku
anggap biasa, dan sebenarnya yang menjadi pemicunya juga hal yang lumrah, yang
seharusnya bisa diatasi dengan hal yang biasa pula.
Disinilah awal penderitaanku, orang selalu bilang,
bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, sampai sekarang hanya itu
yang menjadi pegangan terkuatku. Masa kecilku bahagia, sungguh bahagia
seharusnya, bahkan hampir mendekati kata sempurna masa kecilku, disaat
anak-anak yang lain harus merengek untuk dibelikan mainan, aku tidak perlu merengek seperti
mereka, apa yang aku mau pasti aku dapat, dan aku menjadi anak yang manja,
sampai menjadi anak yang tidak tahu situasi, yang membuatku tidak sempurna
adalah keluargaku yang kacau balau, entah karena apa, pertengkaran pasti selalu
ada, entah dari kakak2 tiriku atau dari sifat pencemburu dan kasar bapakku,
atau keegoisan ibuku.
Dari sini aku belajar memang semua tidak ada yang sempurna,
pertengkaran di keluargaku pun seperti makanan hidupku sehari-hari, sampai
akhirnya aku mulai beranjak dewasa, mulai mengerti perasaan, mulai menjadi
peduli akan keadaan. Disaat kepedulianku muncul saat itu juga semuanya hancur.
Hancur benar-benar hancur, apalagi yang lebih menyakitkan
melihat orang tuaku bercerai ? bercerai mendekati usiaku yang ke 12 tahun,
dimana seharusnya aku lebih banyak
diperhatikan oleh orang tuaku. Hanya perasaan sakit yang aku tau dan aku
rasakan pada saat itu,
Sejak saat itulah penderitaan dan cobaan seolah-olah betah
hidup mendampingiku. Menjadi anak broken home yang membuatku menjadi tak tau
adat dan aturan, mulai dari pulang larut malam, bergaul dengan yang bukan
sebaya, sehingga membuatku menjadi seorang anak yang dewasa sebelum waktunya.
Sejak perceraian itu, bapakku tak kunjung usaha untuk
mendapatkanku agar mau tinggal bersamanya, sampai akhirnya ibuku memindahkan
aku sekolah dan menitipkan aku kepada keluargaku yang lain dan ini sama sekali
tidak membuatku menjadi anak yang tumbuh seperti apa yang diharapkan oleh orang
tua. Pebangkang, inilah yang menjadi sifat utamaku sekarang, aku begini bukan
tanpa alasan, karena memang aku punya sebab, hingga aku suka merasa kasihan
pada anak yang tumbuh sepertiku namun dia masih memiliki keluarga yang utuh,
dan aku anggap itu barulah yang dinamakan anak tidak tahu diri.
Waktu aku duduk dikelas 1 SMP aku dipindahkah sekolah oleh
ibuku karena saat itu bapakku mau mengambil alih untuk mengasuhku. Tak salah
memang niatan bapakku, karena bapakku tau bahwa ibuku sudah tak mementingkan
aku lagi dan dia juga sudah berselingkuh sebelum bercerai dengan bapakku. Akhirnya aku pun
pindah sekolah dan ibuku menitipkan ku kepada saudaraku, tak tinggal menumpang
saja, ibuku harus membayar saudaraku karena saudaraku memang penggila harta,
aku hanya bisa mengusap dada kalu dia berbicara soal hartanya, keadaan tidak
betah tinggal dirumah saudaraku membuat aku menjadi semakin menjadi-jadi. Pergi
malam pulang subuh itu sudah ku anggap biasa, merokok dan minum-minuman sudah
menjadi hobby baruku.
Tak sampai disini penderitaanku, setelah perceraian bapak
dan ibuku syah dimata hukum, setahun kemudian ibuku pun menikah lagi tanpa
berfikir panjang bagaimana perasaanku. Pernah aku bertanya kepada ibuku “ma,
kalo nanti sudah cerai mama mau nikah lagi?” ibuku pun menjawab “engga, demi
Allah tidak akan menikah lagi”, namun kenyataanya , sejak dari situ aku mulai
membenci ibuku, benci sungguh2 benci, sampai aku malas untuk bertemu dengan
dia. Aku selalu membangkangnya, tak mau mendengarkan nasihat dia lagi,
melihatnyapun aku sudah malas dan muak !!
Sejak saat itu pula aku tumbuh menjadi anak yang posesif,
aku juga tak mau seperti ini, karena ini menyiksaku dan menyiksa orang yang aku
sayang juga, namun yang harus diketahui, keposesifanku ini karena aku trauma
melihat perceraian, dan aku benci dengan orang yang mudah berselingkuh karena
aku telah melihat itu dari ibuku.
Kembali kepada soal ayahku, tak berheti dia berusaha untuk
mendapatkan aku, dalam sehari dia sering menelfonku, menanyakan kegiatanku,
memperhatikan segala kebutuhanku, dan ibuku sangat hebat sekali, menelfonku
sebulan sekalipun hampir tak pernah, ulang tahun ku saja dia tidak ingat.
Waktupun terus berjalan, aku sekarang duduk di bangku SMA,
aku idamkan masa2 ini karena menurut orang masa-masa ini yang paling
membahagiakan. Benarkan membahagiakan ? tidak untukku. 2008 masa kehancuran
buatku, ayahku meninggal, aku hidup bersama ayah tiriku, kakak tiriku yang
satu-satunya mengerti aku masuk penjara karena ulah bosnya, lengkap sudah, aku
tidak punya siapa2 lagi. Sejak saat itu pula aku sadar bahwa ayah tiriku hanya
memanfaatkan apa yang ada di ibuku, semua harta bendaku telah dia ambil, dan
dia juga meninggalkan ibuku. Habis semua yang ada pada diriku, namun ini tak
semakin menjatuhkan ku, aku malah semakin kuat dan bertekad aku harus bangkit
dari tanganku sendiri.
Sempat juga aku berfikir bahwa hidup ini tak adil buatku,
aku iri dengan teman2ku yang bahagia dan diperhatikan dengan orang tuanya,
sejak SMA aku biasakan hidup sendiri, aku mulai mencari uang sendiri, dan
membuat senang diriku sendiri, aku lupakan ibuku, karena aku ingin membalasnya
saat dia dulu tak perhatikan aku. Aku tidak sedih melihatnya ditinggal oleh
suami barunya, aku senang dan bahagia melihat dia diperlakukan seperti itu, aku
ingin tahu apa yang aku rasakan, ditinggal dan dikecewakan.
Masa-masa SMA pun aku selesaikan, aku tak mau seperti
teman-temanku yang selalu menjilat orangtuanya demi keinginannya, bahkan aku
bertekad untuk mencari uang sendiri untuk biayakan hidupku, dan aku hanya mau
berkuliah dengan uangku sendiri.
Ketegaranku semakin kuat untuk menjalani kehidupanku
ditambah lagi aku sudah bertemu tambatan hatiku yang mau mengerti kekuranganku
dan mengerti perihal keluargaku. Yang membuatku semakin kuat menjalani
kehidupan ini.
Keadaanpun mulai merubahku, aku tak pernah tidak mendapat
rangking disekolah, ketekunanku dalam menjalani kehidupan telah merubah cara
berfikirku, dan sekarang akupun mulai meninggalkan kebiasaan buruk yang dulu
menjadi bagian hidupku, entah apa yang membuatku berubah mungkin kedewasaan
yang membawaku seperti ini.
Aku mulai serius dalam semua hal yang aku lakukan, seiring
berjalannya waktupun aku mulai menyadari ibuku, dia sedang berada dalam
kesendirian pula, kini hubunganku berubah menjadi lebih baik, walaupun
terkadang aku masih merasa marah apabila mengingat teganya dia dulu padaku.
Semua ini aku jadikan pembelajaran hidup, susah dan senang
sudah aku rasakan, ini membuatku menjadi mudah berfikir panjang, dulu aku
senang karena orang tuaku, aku susahpun karena mereka, namun aku berjanji pada
diriku sendiri, aku akan memulai semuanya dari nol, akan kubuat senang
anak-anakku kelak, dan tak akan ada yang akan membuat mereka susah seperti aku.
Dan pesan untuk anda yang membaca ini, jadikan segala cobaan
yang datang kepadamu sebagai pelajaran, bukan sebagai kesusahan.