Jumat, 15 Januari 2016

(Ini cerita bukan derita .. cerita kebanyakan dari seorang broken home)

Dilahirkan sebagai anak yang terlahir dari sebuah keluarga yang sudah cukup broken sebelum dilahirkan, memang agak menyakitkan. Telah lahir seorang bayi perempuan yang dilahirkan dari sebuah perkawinan seorang duda dan seorang janda yang sebelumnya pernah juga memiliki anak. Senang seharusnya, namun ? ini adalah sebuah malapetaka, derita pertama diawal kelahiran ku.
Ya, aku dilahirkan dari benih seorang bapak yang menikahi ibuku kala dia sudah duda dan membawa 3 anak, dan ibuku seorang janda yg dinikahi bapakku dan membawa 2 anak.  Aku fikir kegagalan bapak dan ibuku di pernikahan pertama membuat mereka belajar bagaimana mencintai dan menghargai  satu sama lain. Namun, tak ada satupun di benak mereka terbesit rasa salig menghargai, tetap yang mereka jaga adalah ego mereka masing-masing, hingga aku bertanya kenapa orang yang sudah menikah dan mencintai bisa terpisah?  Dan pada saat itu akupun menemukan jawabannya, jawaban dimana keegoisanlah yang menjadi penyebabnya, bukan karena masalah materi, buat mereka materi mudah untuk dicari. Inilah awal penderitaanku.
Sejak kecil aku sudah terbiasa melihat orang membanting piring, mencaci maki, atau melempar apapun benda yang ada di depan mereka. Ya Ya Ya mencoba bersikap biasa karena memang harus terbiasa, pertengkaran ini ku anggap biasa, dan sebenarnya yang menjadi pemicunya juga hal yang lumrah, yang seharusnya bisa diatasi dengan hal yang biasa pula.
Disinilah awal penderitaanku, orang selalu bilang, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, sampai sekarang hanya itu yang menjadi pegangan terkuatku. Masa kecilku bahagia, sungguh bahagia seharusnya, bahkan hampir mendekati kata sempurna masa kecilku, disaat anak-anak yang lain harus merengek untuk dibelikan  mainan, aku tidak perlu merengek seperti mereka, apa yang aku mau pasti aku dapat, dan aku menjadi anak yang manja, sampai menjadi anak yang tidak tahu situasi, yang membuatku tidak sempurna adalah keluargaku yang kacau balau, entah karena apa, pertengkaran pasti selalu ada, entah dari kakak2 tiriku atau dari sifat pencemburu dan kasar bapakku, atau keegoisan ibuku.
Dari sini aku belajar memang semua tidak ada yang sempurna, pertengkaran di keluargaku pun seperti makanan hidupku sehari-hari, sampai akhirnya aku mulai beranjak dewasa, mulai mengerti perasaan, mulai menjadi peduli akan keadaan. Disaat kepedulianku muncul saat itu juga semuanya hancur.
Hancur benar-benar hancur, apalagi yang lebih menyakitkan melihat orang tuaku bercerai ? bercerai mendekati usiaku yang ke 12 tahun, dimana seharusnya aku  lebih banyak diperhatikan oleh orang tuaku. Hanya perasaan sakit yang aku tau dan aku rasakan pada saat itu,
Sejak saat itulah penderitaan dan cobaan seolah-olah betah hidup mendampingiku. Menjadi anak broken home yang membuatku menjadi tak tau adat dan aturan, mulai dari pulang larut malam, bergaul dengan yang bukan sebaya, sehingga membuatku menjadi seorang anak yang dewasa sebelum waktunya.
Sejak perceraian itu, bapakku tak kunjung usaha untuk mendapatkanku agar mau tinggal bersamanya, sampai akhirnya ibuku memindahkan aku sekolah dan menitipkan aku kepada keluargaku yang lain dan ini sama sekali tidak membuatku menjadi anak yang tumbuh seperti apa yang diharapkan oleh orang tua. Pebangkang, inilah yang menjadi sifat utamaku sekarang, aku begini bukan tanpa alasan, karena memang aku punya sebab, hingga aku suka merasa kasihan pada anak yang tumbuh sepertiku namun dia masih memiliki keluarga yang utuh, dan aku anggap itu barulah yang dinamakan anak tidak tahu diri.
Waktu aku duduk dikelas 1 SMP aku dipindahkah sekolah oleh ibuku karena saat itu bapakku mau mengambil alih untuk mengasuhku. Tak salah memang niatan bapakku, karena bapakku tau bahwa ibuku sudah tak mementingkan aku lagi dan dia juga sudah berselingkuh sebelum  bercerai dengan bapakku. Akhirnya aku pun pindah sekolah dan ibuku menitipkan ku kepada saudaraku, tak tinggal menumpang saja, ibuku harus membayar saudaraku karena saudaraku memang penggila harta, aku hanya bisa mengusap dada kalu dia berbicara soal hartanya, keadaan tidak betah tinggal dirumah saudaraku membuat aku menjadi semakin menjadi-jadi. Pergi malam pulang subuh itu sudah ku anggap biasa, merokok dan minum-minuman sudah menjadi hobby baruku.
Tak sampai disini penderitaanku, setelah perceraian bapak dan ibuku syah dimata hukum, setahun kemudian ibuku pun menikah lagi tanpa berfikir panjang bagaimana perasaanku. Pernah aku bertanya kepada ibuku “ma, kalo nanti sudah cerai mama mau nikah lagi?” ibuku pun menjawab “engga, demi Allah tidak akan menikah lagi”, namun kenyataanya , sejak dari situ aku mulai membenci ibuku, benci sungguh2 benci, sampai aku malas untuk bertemu dengan dia. Aku selalu membangkangnya, tak mau mendengarkan nasihat dia lagi, melihatnyapun aku sudah malas dan muak !!
Sejak saat itu pula aku tumbuh menjadi anak yang posesif, aku juga tak mau seperti ini, karena ini menyiksaku dan menyiksa orang yang aku sayang juga, namun yang harus diketahui, keposesifanku ini karena aku trauma melihat perceraian, dan aku benci dengan orang yang mudah berselingkuh karena aku telah melihat itu dari ibuku.
Kembali kepada soal ayahku, tak berheti dia berusaha untuk mendapatkan aku, dalam sehari dia sering menelfonku, menanyakan kegiatanku, memperhatikan segala kebutuhanku, dan ibuku sangat hebat sekali, menelfonku sebulan sekalipun hampir tak pernah, ulang tahun ku saja dia tidak ingat.
Waktupun terus berjalan, aku sekarang duduk di bangku SMA, aku idamkan masa2 ini karena menurut orang masa-masa ini yang paling membahagiakan. Benarkan membahagiakan ? tidak untukku. 2008 masa kehancuran buatku, ayahku meninggal, aku hidup bersama ayah tiriku, kakak tiriku yang satu-satunya mengerti aku masuk penjara karena ulah bosnya, lengkap sudah, aku tidak punya siapa2 lagi. Sejak saat itu pula aku sadar bahwa ayah tiriku hanya memanfaatkan apa yang ada di ibuku, semua harta bendaku telah dia ambil, dan dia juga meninggalkan ibuku. Habis semua yang ada pada diriku, namun ini tak semakin menjatuhkan ku, aku malah semakin kuat dan bertekad aku harus bangkit dari tanganku sendiri.
Sempat juga aku berfikir bahwa hidup ini tak adil buatku, aku iri dengan teman2ku yang bahagia dan diperhatikan dengan orang tuanya, sejak SMA aku biasakan hidup sendiri, aku mulai mencari uang sendiri, dan membuat senang diriku sendiri, aku lupakan ibuku, karena aku ingin membalasnya saat dia dulu tak perhatikan aku. Aku tidak sedih melihatnya ditinggal oleh suami barunya, aku senang dan bahagia melihat dia diperlakukan seperti itu, aku ingin tahu apa yang aku rasakan, ditinggal dan dikecewakan.
Masa-masa SMA pun aku selesaikan, aku tak mau seperti teman-temanku yang selalu menjilat orangtuanya demi keinginannya, bahkan aku bertekad untuk mencari uang sendiri untuk biayakan hidupku, dan aku hanya mau berkuliah dengan uangku sendiri.
Ketegaranku semakin kuat untuk menjalani kehidupanku ditambah lagi aku sudah bertemu tambatan hatiku yang mau mengerti kekuranganku dan mengerti perihal keluargaku. Yang membuatku semakin kuat menjalani kehidupan ini.
Keadaanpun mulai merubahku, aku tak pernah tidak mendapat rangking disekolah, ketekunanku dalam menjalani kehidupan telah merubah cara berfikirku, dan sekarang akupun mulai meninggalkan kebiasaan buruk yang dulu menjadi bagian hidupku, entah apa yang membuatku berubah mungkin kedewasaan yang membawaku seperti ini.
Aku mulai serius dalam semua hal yang aku lakukan, seiring berjalannya waktupun aku mulai menyadari ibuku, dia sedang berada dalam kesendirian pula, kini hubunganku berubah menjadi lebih baik, walaupun terkadang aku masih merasa marah apabila mengingat teganya dia dulu padaku.
Semua ini aku jadikan pembelajaran hidup, susah dan senang sudah aku rasakan, ini membuatku menjadi mudah berfikir panjang, dulu aku senang karena orang tuaku, aku susahpun karena mereka, namun aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan memulai semuanya dari nol, akan kubuat senang anak-anakku kelak, dan tak akan ada yang akan membuat mereka susah seperti aku.
Dan pesan untuk anda yang membaca ini, jadikan segala cobaan yang datang kepadamu sebagai pelajaran, bukan sebagai kesusahan.